Jika senja telah tiba, yang kulakukan adalah merindumu.
Kadang, aku menganggap bahwa senja ini adalah sekelebat kerinduan yang lama
terpendam. Entah mengapa aku menganggapnya seperti itu. Yang pasti, hanya senja
yang mampu membuatku betah duduk diberanda. Menatapi matahari bulat yang
perlahan hilang diantara semburat jingganya yang cantik.
Senja yang ku punya tak selalu merah atau jingga. Kadang ia
akan berubah menjadi abu-abu membelah langit biru. Juga ia pernah suguhkan
warna ungu untukku. Mungkin, jingga tau bahwa aku sedang tersedu rindu. Ahh..
Sejak kapan aku selalu merindukan senja? Padahal, hanya beberapa manusia saja
yang mengetahui betapa indahnya ia. Para penyair akan menganggap senja ini
sebagai panggung perayaan. Dimana syair-syair mereka tumpah ruah diatas
cakrawala. Fotoghrafer juga akan menganggap senja ini indah. Buktinya, mereka
terpaku akan semburat jingganya atau bahkan, warna merahnya yang sungguh
merona. Lalu, dengan para pelukis. Para pelukis tentu akan menggambar
sayatan-sayatan halus yang berpadukan warna merah, jingga, kuning, biru dan
ungu. Semua jadi satu dengan dipisahkan oleh elemen awan yang berwarna abu-abu.
Dibagian dalam lukisan sebelum sayatan digambarkan, ia akan membuat matahari
bulat, sedikit lebih rendah dari awan. Ahh.. tunggu dulu, tau apa aku tentang
fotoghrafer dan Para pelukis? Maaf, lagi-lagi aku ngaco! Tapi, yang aku tau
cuman tentang senja. Ya, senja memang nikmat tuhan yang khusus diberikan untuk
mata. Ini masih tentang senja yang istimewa dan juga ini masih tentang rindu
yang tak jemu-jemu menggangguku!